Senin, Mei 30

Halo Anfal!

Halo Anfal, masih ingatkah kau dengan awal kali kau menyapa? Saat itu, pertama kalinya kau bertandang dalam gegap gempita gelora dunia
Kali pertama itu, kau buktikan padaku jika kau bukan hanya hidup dalam sinema
Kali pertama itu, kau memang bukan mengunjungi organku
Kali pertama itu, kau memang hanya menyentuh hidupku
Kali pertama itu, kau memang mengunjungi Pak Tua itu
Tapi tahukah kamu, jika aku juga ikut mengecap garam yang terasa hambar saat kau ajak Pak Tua itu bercengkrama denganmu?
Aku merasa dingin di tengah padang yang berselimut terik matahari – saat kau hadir diantara gelora hidupku –
Pak Tua itu tampak sangat tenang menyambut kedatanganmu. Pak Tua itu tampak damai saat kau berbincang dengan kehidupannya. Pak Tua itu tidak menangis. Pak Tua itu tidak tertawa. Pak Tua itu hanya memejamkan mata saat kau ada bersamanya. Pak Tua itu juga tidak mengeluh akan banyaknya kabel yang menjadi aksesoris tubuhnya. Kabel – kabel yang terhubung dengan monitor itu, terlihat seperti aksen yang memperindah tubuh yang bobotnya kian menyusut
Sementara kami ditemani bulir itu, saat kau laksanakan tugasmu dari Sang Pangeran. Bulir yang selalu mengalir bak mata air yang mengalir secara kontemporer. Bulir itu menemani kami saat salah satu panca indera kami mengamati Pak Tua yang nampaknya asyik bermain denganmu. Ayat suci juga tak henti kami lantunkan agar Pak Tua itu menyudahi jam mainnya denganmu. Bulir dan ayat suci yang dikirimkan Sang Pangeran untuk menemani kami, saat kau bersua dengan Pak Tua
Anfal, kau memang warna dari sekelumit kehidupan
Anfal, kau memang telah menunjukkan bahwa kau tak hanya hidup dalam dunia khayal
Anfal, kau mungkin hadiah dari Sang Pangeran
Dan saat kau tak lagi bertandang, Pak Tua itu masih nyaman dalam tidurnya. Sungguh pun bahagia yang tak terkira saat kami tahu bahwa Pak Tua sudah bisa membuka mata dan menyebut asma Sang Pangeran
 Lambat laun waktu berjalan, dedaunan berjatuhan, dan awan yang terkondensasi menjadi hujan, kau mengunjungi Pak Tua itu – lagi –
Kali ini kau ajak dia bermain – lagi –
Kali ini kau ajak Pak Tua pergi
Kali ini kau ajak Pak Tua itu mengunjungi rumah Sang Pangeran
Kali ini kau ajak Pak Tua itu mengunjungi tempat yang diidamkan semua insan
 Kali ini kau bawa Pak Tua itu kembali ke pangkuan Sang Pangeran
Lalu kami berkumpul di pemakaman. Pak Tua itu sudah ‘pulang’ - ke pelukan Sang Pangeran –
 Pak Tua itu yang nantinya akan jadi leluhur dari keturunanku
 Pak Tua itu yang kupanggil dia “Kakek”

Rabu, Mei 25

Selamat Ulang Tahun Uly!


Andai kau tahu aku melihatmu dari sini. Dari sudut pandang ini. Dari siku yang tak mampu dilihat indera yang biasa. Andai saja. Namun alam kita tak sama. Tapi dimensi kita berbeda. Dalam zaman dan era yang sama

Empat Tahun yang Lalu..
Aku terdiam di taman itu. Aku menunggu kedatangan sepupuku. Entah apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan rasa bosan saat menunggu. Tapi yang jelas saat itu yang kulakukan hanya menatap lurus ke depan. Menatap semua yang lalu lalang di depanku. Apapun yang melewati tubuhku yang konstan. Lalat, daun, ataupun angin yang perlahan membisikkanku untuk bersabar.
‘Lama benar Dina’ batinku
Dina, sepupuku. Kami menuntut ilmu di yayasan yang sama, di gedung yang sama, tapi sekolah kami memberlakukan sistem asrama. Jadi tak mudah untukku dan dia bertemu dan berkomunikasi diluar jam sekolah. Dan pada saat itu, saat aku telah jengah menunggu. Aku melihatmu. Berlari mengejar temanmu. Berlari menjauh meninggalkan bayangku. Berlari dan tak menyadari aku yang terus melekatkan pandangku akan gerakmu itu. Kau tidak menyadarinya. Aku tahu itu. Tapi kau tak pernah tau
Kamu, gadis itu. Gadis yang masih terlihat sangat lugu. Gadis yang berhasil membuatku melekatkan pandangku ke semua gerakmu. Kamu. Dan akhirnya aku tahu namamu. Salsabila Uly

Tiga Setengah Tahun yang Lalu..
Kita sudah lama saling mengenal. Kamu sudah tahu namaku. Kamu sudah tahu wajah dari pemilik nama Rezan Dekian. Ya. Dan sekarang kamu pun selalu melempar senyummu ketika pandang kita bertemu. Kamu tak lagi acuh jika melewati aku di taman itu.
 Mereka panggil kamu uly. Dan aku pun begitu. Tapi tahukah kamu, jika aku sangat ingin memanggilmu ‘Sayang’? Aku menyayangimu Uly. Aku menyayangimu melebihi manisnya coklat yang selalu ku kirim untukmu – walau dengan perantara Dina – Aku menyayangimu, walau aku pernah melihat wajah naturalmu. Wajahmu yang seolah berbicara jika kamu baru bangun dari tidurmu. Banyak orang bilang, jika wanita terlihat lebih jelek ketika mereka baru bangun tidur. Tapi kurasa hukum itu tidak berlaku untukmu. Kau terlihat cantik. Sangat cantik
Dan di hari itu, aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Semua buram dan perlahan menghilang. Dan hitam –
Perlahan kubuka kelopak indera penglihatanku. Kepalaku pusing. Sangat pusing. Entah aku ada dimana. Seorang laki – laki berjas putih menghampiriku. Dengan stetoskopnya, iya mengamatiku. Dan tersenyum padaku. Aku tak mengenalnya. Sungguh aku tak pernah mengenal wajahnya. Perlahan kucoba mengeja rangkaian aksara yang melekat di atas jasnya.  Supratmo. Namanya Supratmo
“Kamu masih butuh banyak istirahat Nak. Sebentar lagi ibumu datang. Ia sedang dalam perjalanan”
‘Ada apa yang sebenarnya terjadi? Ya Rabb, bolehkah kau jelaskan padaku, apa yang terjadi selama aku sibuk dalam alam bawah sadarku?’ batinku
Dan mama pun datang. Wajahnya jelas mencerminkan kecemasan. Wajahnya jelas menggambarkan bahwa jiwanya tak tenang. Mama pun pergi, meninggalkan aku. Karena dokter itu memanggilnya untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi dalam organku
***
Disinilah aku. Di Negara yang berbeda denganmu, Uly. Aku harus menetap di Singapura untuk mendapatkan penanganan medis guna menjinakkan kanker itu. Menjinakkan kanker yang perlahan menggerogoti darahku. Kanker yang kurasa mempunyai ambisi hegemoni dalam kerajaan organku. Ya Rabb, berilah semua yang terbaik untukku dan untuk gadisku
Hari ini aku memaksakan diriku untuk pergi ke taman di rumah sakit itu. Rumah sakit dimana aku memperjuangkan semua kemampuanku untuk meredam agresi yang terus dilancarkan kanker untuk kerajaan organku. Rumah sakit dimana aku menyerahkan  semua kepunyaanku untuk hasil yang terbaik dari akhir peperanganku dengan penyakit ini. Aku harap hasilnya baik
Aku memperhatikan keadaan sekitar. Aku melihat seorang kakek yang setia berbicara pada seorang nenek yang hanya menatap kosong ke depan. Akankah aku dan kamu – Uly – bisa begitu? Akankah aku mampu bertahan lebih lama hanya untuk mengingatkanmu tentang buana cerita kita saat kamu mulai lupa siapa nama cucu yang terlahir dari rahim anak – anak kita? Akankah amunisi imunku mampu untuk mempertahankan kekuasaanku dalam kerajaan organku?
Aku teringat akan senyummu. Aku teringat saat pertama kali pandangmu bertemu dengan pandangku. Aku teringat saat aku mulai tersipu jika Dina bercerita tentang dirimu. Aku teringat saat – saat itu. Saat aku pun belum tahu, jika perlahan pasukan kanker mulai bergerilya untuk melancarkan agresi dalam kerajaan organku
Dua Tahun yang Lalu..
Aku menatapmu. Dari sini. Dari sudut pandang yang mungkin belum tak akan mampu terjamah oleh admiral mana pun. Menatapmu yang sedang tertidur di atas meja belajarmu. Menatapmu yang tertidur dengan mata sembab yang seolah merepetisi semua kesedihanmu sebelum kau menutup matamu. Menatapmu yang tertidur dengan pena dalam genggamanmu. Menatapmu yang tertidur di atas selembar kertas yang tak lagi kering karena kejauhan tetesan air matamu
Hallo Pria, apa kabar? Bagaimana keadaanmu sekarang? Masihkah memori tentang kita tersimpul rapi dalam ingatanmu? Aku merindukanmu. Aliran darah ini membutuhkanmu. Agar mereka beredar dalam systole dan diastole yang konstan
Itu untukmu Pria. Ungkapan nurani yang tak pernah bias dibohongi. Rasa sakit yang tak pernah bias dimengerti. Rasa saying yang tak pernah bias kusudahi. Bahkan setelah kau meninggalkanku di tengah senyum dalam tangisku. Aku meratapi jejakmu, yang kurasa akan selalu ada walau era telah berbeda. Api ini masih membara. Sekam itu masih tercipta. Semenjak kau pergi dan kau anggap aku yang menjauh sehingga kita tak pernah bertemu dalam sapa. Pria, benarkah sudah punah rasa tentang kita? Aku tidak begitu, Pria. Aku masih ingin menangis dalam dekapmu. Aku masih ingin tertawa karena tingkahmu. Dan bahkan aku masih inign menangis karena dinginmu padaku
Pria, kini kau tersenyum bersamanya. Pria, apakah senyum itu pertanda bahagia? Jika iya, aku bahagia mendengarnya. Aku bahagia kau tersenyum, walaupun itu bukan denganku. Pria, apa kau tahu jika aku melihatmu menjuntai senyummu untuknya? Pria, dapatkah kau bayangkan rasanya? Aku tersenyum tetapi menangis
Pria, maafkan aku. Jika masih ada rasa yang tak biasa jika kau menyapa. Jika aku sulit untuk sembuhkabn luka. Aku memang belum bisa kendalikan pelana
Pria, aku memang hidup dalam lampau cintamu. Tapi perkenankan kau hidup dalam memoriku. Biarkan aku memilikimu. Walau dalam maya sebuah masa
Sungguh terenyuh jika aku membaca seluruh gubahan aksara yang kau tujukan hanay untuk sang Pria. Sajak yang mendespersi semua gundah dalam kata – kata yang tak bisa disebut lelucon jenaka. Andai sang Pria tahu apa yang kau rasa. Andai sang Pria tahu apa dampak dari polahnya. Andai saja
Tapi nampaknya ia terlalu sibuk dengan pujaan barunya. Ia meninggalkanmu. Untuk temanmu. Ia memujanya. Dan temanmu pun terlihat bahagia atas puja – puji dari sang Pria. Dan kamu mengetahuinya. Lalu kamu terlarut akan hawa kesedihan yang ditengarai oleh sikapnya
Uly, andai kau tahu jika kau tak sendiri. Uly, andai kau tahu jika aku mengetahui semua layar yang terkembang dalam samudera kehidupanmu. Aku tahu saat kamu menerima rasa dari sang Pria. Aku memandangmu saat kau tersipu malu saat sang Pria mulai menggodamu. Aku paham guratan wajahmu yang menggambarkan sendu sanubarimu. Aku bisa rasakan semua iklim yang kau rasa dalam kuasi duniamu
Andai kau tahu bingahnya hatiku saat kamu mencurahkan semua rasamu dalam diary yang bergambar mickey mouse itu. Diary yang kubeli untukmu saat detak jantungku masih beriringan dengan semua system yang bekerja dalam organku. Saat itu. Saat aku masih diperbolehkan menghirup oksigen dari dunia yang dinamis

Hari Ini, 12 Mei 2011..
Bertahun  sudah ragaku meninggalkan dunia nyatamu. Udara yang kau hirup memang tak lagu kuhiru jua. Oksidasi yang kau lakukan memang tak bisa kulakukan jua. Seluruh organku mungkin telah menjadi santapan decomposer dan  telah menyatu dengan tanah. Tapi percayalah, jika cerita kita akan terus berkibar seiring dengan bumi yang terus berputar mengelilingi pusar sinar
Selamat ulang tahun Gadisku. 17 tahun yang lalu. Kau diizinkan olehNya menginjak tanah dunia. 17 tahun yang lalu Dia merestui kamu hadir di alam yang fana ini. 17 tahun yang lalu Dia meridhoi orang tuamu untuk menyematkan nama Salsabila Uly dalam jiwa, raga, dan seluruh asesorisnya. Nama yang tersimpan rapi dalam klasik cinta di sini. Di dalam sini. Dalam suatu ruang yang selalu kujaga agar tak lekang dimakan zaman. Agar cerita kamu dan aku tetap padu. Agar langkah romansa kita tetap bersatu. Walau kamu dan aku tidak lagi dalam dimensi yang sama. Walau kamu tak pernah tahu aku selalu mengharap kiriman do’a mu. 17 tahun sudah kamu merasa hiruk pikuk sebuah rasa. 17 tahun sudah kamu merasa lika – liku kehidupan dunia. 17 tahun sudah kamu mengenal sesuatu yang mereka sebut itu cinta. 17 tahun sudah –
Satu hal yang harusnya selalu kau ingat Uly. Jika kamu tidak sendiri. Selalu ada Dia, aku, keluargamu, dan sahabatmu – kami – yang selalu percaya jika kamu bisa mengkonversi impian jadi kenyataan
Semoga kamu bisa memperbaiki defisit yang terdapat dalam seluruh divisi yang menyokong kesatuan dari kerjaan organmu. Semoga kamu bisa menjadi apa yang kami harapkan. Semoga kamu bisa menyublim angan menjadi nyata. Semoga kamu bisa menjadi gadisku yang senantiasa ku damba. Semoga
Selamat ulang tahun Uly!
Rezan

Untuk saudara sehati tapi tak serupa, Salsabila Uly. Percayalah jika kamu tak sendiri. Percayalah jika masih ada kami disini. Percayalah jika kami masih mau melihat kamu sukses. Percayalah jika kami masih menyimpan kotak senyum kami untuk keberhasilanmu. Selamat ulang tahun..