Kamis, Juni 30

Dia, Permata Negara

Aku dilahirkan dari seorang wanita mengagumkan dengan izin Sang Pangeran. Aku dibesarkan ditengah masyarakat sipil lainnya. Masyarakat yang secara holistik tidak berhubungan darah degan admiral ibu pertiwi dan elite politik Negara ini – sama seperti aku
Dan kami terbiasa mendengar induk harimau yang tak segan menerkam anaknya. Kecebong yang menghunuskan tombak pada perut kecilnya.  Pitik kecil yang kabur dari kandangnya. Pitik kecil yang tak lagi menginginkan hidup bersama induknya. Dan juga terhadap pemberitaan tanaman yang memakan pagarnya.
Dan kami juga mengenal dia. Dia yang berkeyakinan bisa taklukan dunia walaupun kemiskinan membelenggunya. Dia yang percaya jika bunga teratai bisa hidup di gurun Sahara. Dia yang tak pernah setuju pada asumsi publik yang seakan tak ada lagi nikmat yang bisa dikecap kaum jelata. Dia yang mengimani Tuhan selalu rela merengkuhnya. Dia yang percaya Tuhan selalu punya cara agar jelata bisa menggapai surgaNya
Dia juga mengenal kami. Sekelompok orang yang seolah lupa bahwa semua ini titipan Sang Baginda. Sekelompok orang yang yakin tak pernah ada nilai absurd yang mampu mengganjar kejujuran dengan sebongkah permata. Kami yang yakin bahwa tak pernah ada kepiting di balik karang setelah badai saat pasang. Kami yang sesungguhnya bukan dari kaum berpangkat negeri. Kami yang tamak akan hujanNya. Kami yang memang jika dipandang dari sudut mana pun berada jauh dari kastanya
Kami mengenal dia. Dia yang sanggup mendispersi angan menjadi nyata. Dia yang percaya bahwa kesuksesan tak akan pernah datang pada orang yang berpangku tangan. Dia yang seolah mempunyai amunisi yang tak pernah mampu terdefinisi untuk berjuang dalam medan ini. Medan yang pada hakikatnya tidak mengenal pembagian kasta. Medan yang secara zahir telah membuktikan kesanggupan jelata bisa menjadi cendekia
Dia mengenal kami. Sekelumit keturunan Adam dan Hawa yang seolah membuang permata dalam genggaman. Permata yang kami dapatkan perlahan dari gubuk pendidikan. Segerombol insan yang tak percaya bahwa aksi sebanding dengan reaksi. Segerombol insan yang tak percaya bahwa hukum Newton II memang tak sekedar hidup dalam ampuan pelajaran. Kami bagai kucing yang membuang ikan dalam piring panganan. Kami membuangnya. Seolah itu tak berharga. Kami membuangnya. Sesuatu yang sepenuh asa ingin digenggamnya
Kami mengenal dia – yang publik bilang bukan berasal dari kaum unggulan – Tapi  kurasa anggapan publik salah. Publik belum tahu jika seyogyanya Tuhan selalu meletakkan permata di tengah lumpur yang bernyawa. Publik belum sadar jika permata itu adalah dia
Dia yang sadar bahwa selalu ada pengorbanan untuk gapai kesuksesan. Dia yang sanggup beajar pada riak sungai yang bisikkan keteduhan. Dia yang tak pernah kehilangan asa saat dia tahu bahwa gedung pendidikan perlahan bermetamorfosa menjadi gedung penghasil uang. Dia yang membuktikan jika kaum papa sanggup merapatkan bahtera ke daratan bahagia. Dia berhasil bermetamorfosa dari kecebong menjadi katak dewasa. Dia yang sempurna – menurut pandang insan biasa – melewati serangkaian seleksi alam layaknya kupu – kupu Biston Bestularia. Dia yang mampu terjaga saat kemiskinan bercumbu dengan kebodohan
Dia lakukan semua itu. Dia hancurkan semua pepatah publik tentang jelata. Dia buat kami yakin jika benar – benar ada oasis di gurun yang terbentang. Dia buat kami terpukau akan kaumnya. Dia buat publik mengakui keberadaan kaumnya
Ya Tuhan, kami memang hanya kaum biasa. Publik bilang kami bukan dari kaum jelata. Tapi sungguh pun kami rasa jika kami bukan kaum jelita
Ya Tuhan, kasihi mereka… Karena kami hanya mampu mengasihani mereka. Kami percaya jika Engkau selalu terjaga walau era telah berbeda
Ya Tuhan – Sang Empunya Dewi Keberuntungan – tebarlah benih – benih keadilan dalam setiap elemen negeri. Agar jelata mampu menengguk keadilan di tengah konsolidasi mafia negeri. Agar jelata tak lagi harus membeli kebebasan
Ya Tuhan, sadarkan mereka… Kaum yang terlena dengan nikmat dunia. Agar mereka selalu dalam pangkuanMu. Agar mereka selalu hidup dalam belaian kasih sayangMu